I.
PENDAHULUAN
Tanaman merupakan produsen utama
dalam menghasilkan bahan makanan/pangan. Bahan-bahan makanan yang dihasilkan
tanaman ini sangat berguna bagi makhluk hidup lain, terutama manusia. Pangan
merupakan kebutuhan hidup terpenting bagi manusia, setelah udara dan air. Pemenuhan
kebutuhan makan adalah hak yang paling asasi dari manusia yang tidak bisa
ditawar lagi. Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu dari konsepsi
ketahan pangan. Ketahanan
pangan mencakup produksi dan ketersediaan pangan, distribusi dan keterjangkauan
oleh semua orang, konsumsi individual untuk memenuhi kebutuhan gizi, dan
monitor kekurangan pangan. Ketahanan pangan tidak hanya mencakup
pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk
mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan
pada pihak manapun. Dalam hal inilah, petani memiliki kedudukan strategis
dalam ketahanan pangan : petani adalah produsen pangan dan petani adalah juga
sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan
daya beli yang cukup untuk membeli pangan. Petani harus memiliki
kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri. Sehingga dapat
dikatakan bahwa persoalan ketahanan pangan tidak terlepas dari persoalan
kemiskinan yang dihadapi oleh bangsa ini.
Pemenuhan kebutuhan pangan sangat
berkaitan dengan peran tanaman. Untuk tumbuh dan berkembang dengan baik maka
tanaman harus memperoleh tempat tumbuh yang baik pula, tempat tumbuh tanaman
disini adalah tanah. Tanah adalah hasil pengalihragaman bahan mineral dan
organik yang berlangsung di muka daratan bumi di bawah pengaruh faktor-faktor
lingkungan yang bekerja selama waktu sangat panjang, dan berwujud sebagai suatu
tubuh alam yang berdimensi tiga, dan menduduki sebagian besar permukaan bumi. Penurunan
produksi bahan pangan nasional yang dirasakan saat ini lebih disebabkan oleh
semakin sempitnya luas lahan pertanian yang produktif (terutama di pulau Jawa)
sebagai akibat alih fungsi seperti konversi lahan sawah, ditambah isu global
tentang meningkatnya degradasi lahan (di negara berkembang). Salah satu
alternatif pilihan yang diharapkan dapat meningkatkan potensi produksi tanaman
dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan adalah pendayagunaan lahan kering.
Selain karena memang tersedia cukup luas, sebagian dari lahan kering belum
diusahakan secara optimal sehingga memungkinkan peluang dalam pengembangannya. Umumnya
jenis tanah yang mendominasi pada lahan kering bersifat masam. Jenis tanah
masam diantaranya terdapat pada tanah ordo Ultisol. Ultisols adalah tanah-tanah
yang berwarna kuning merah dan telah mengalami pencucian yang sudah lanjut. Ultisol
dibentuk oleh proses pelapukan dan pembentukan tanah yang sangat intensif
karena berlangsung dalam lingkungan iklim tropika dan subtropika yang bersuhu
panas dan bercurah hujan tinggi dengan vegetasi klimaksnya hutan rimba. Tindakan
konservasi tanah dan air, bertujuan untuk melindungi tanah terhadap kerusakan
yang ditimbulkan oleh butirbutir air hujan yang jatuh, memperlambat aliran
permukaan (run off), memperbesar kapasitas infiltrasi dan memperbaiki aerasi
serta memberikan penyediaan air bagi tanaman. Pada lahan kering, tindakan
konservasi lebih ditujukan pada upaya mengurangi erosi dan kehilangan unsur
hara.
Tujuan penulisan makalah ini
adalah untuk mengetahui bagaimana cara memanajemen lahan kering pada jenis
tanah ultisol untuk budidaya tanaman kelapa sawit, sehingga dengan pengelolaan
lahan yang baik diharapkan tanaman kelapa sawit mampu tumbuh dan berkembang
serta berproduksi dengan optimal pada lahan yang diusahakan.
II.
DESKRIPSI
TANAMAN
2.1
Klasifikasi
Divisi : Embryophyta Siphonagma
Kelas : Angiospermae
Ordo : Monocotyledonae
Famili : Arecaceae
Subfamili : Cocoideae
Genus : Elaeis
Species : Elaeis Guinensis Jacq (Maselanusboman, 2007).
Kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati yang
sangat penting. Tanaman kelapa sawit termasuk kedalam famili Palmae dan
subkelas Monocotyledoneae. Spesies lain dari genus Elaeis adalah yang
dikenal sebagai kelapa sawit Amerika Latin. Beberapa varietas unggul yang
ditanam adalah : Dura, Pisifera dan Tenera (Suluhkarso, 2012).
2.2
Morfologi:
gambar/foto; umum, akar, daun, batang, bunga, buah
a.
a.
Pt = permukaan tanah
b.
P = plumula
c.
Pr = akar primer
d.
Ad = akar
yang tumbuh mendatar
e.
R = akar
yang tumbuh vertikal
f.
S =
tempurung
g.
Co =
cotiledon
|
Kelapa sawit
merupakan tumbuhan monokotil yang tidak memiliki akar tunggang. Radikula (bakal
akar) pada bibit terus tumbuh memanjang ke arah bawah selama enam bulan
terus-menerus dan panjang akarnya mencapai 15 cm. Akar primer kelapa sawit
terus berkembang. Susunan akar kelapa
sawit terdiri dari serabut primer yang tumbuh vertikal ke dalam tanah dan
horizontal ke samping. Serabut primer ini akan bercabang manjadi akar sekunder
ke atas dan ke bawah. Akhirnya, cabang-cabang ini juga akan bercabang lagi
menjadi akar tersier, begitu seterusnya. Kedalaman perakaran tanaman kelapa
sawit bisa mencapai 8 meter dan 16 meter secara horizontal (Elok, 2010).
b.
Batang
Keterangan :
• AR =
akar yang tumbuh mendatar
• SL =
permukaan tanah.
• B = pangkal batang.
• LB =
batang dengan nomor pelepah.
• A = titik tumbuh.
• SP
= tangkai daun.
Tanaman kelapa sawit umumnya
memiliki batang yang tidak bercabang. Pada pertumbuhan awal setelah fase muda
(seedling) terjadi pembentukan batang yang melebar tanpa terjadi pemanjangan
internodia (ruas). Titik tumbuh batang kelapa sawit terletak di pucuk batang,
terbenam di dalam tajuk daun, berbentuk seperti kubis dan enak dimakan (Elok,
2010).
Di batang
tanaman kelapa sawit terdapat pangkal pelepah-pelepah daun yang melekat kukuh
dan sukar terlepas walaupun daun telah kering dan mati. Pada tanaman tua,
pangkal-pangkal pelepah yang masih tertinggal di batang akan terkelupas,
sehingga batang kelapa sawit tampak berwarna hitam beruas.
c. Daun
Keterangan :
• SP = Duri
• PE = Pangkal Pelepah
• VL = Pangkal pelepah dengan daun-daun yang
tidak tumbuh normal
• RA = Bagian tengah dengan daun-daun normal
• TL = Sepasang daun terakhir yang bentuknya
oval
Tanaman kelapa sawit memiliki
daun (frond) yang menyerupai bulu burung atau ayam. Di bagian pangkal pelepah
daun terbentuk dua baris duri yang sangat tajam dan keras di kedua sisisnya.
Anak-anak daun (foliage leaflet) tersusun berbaris dua sampai ke ujung daun. Di
tengah-tengah setiap anak daun terbentuk lidi sebagai tulang daun (Elok, 2010).
d. Bunga dan buah
Gambar bungan betina Gambar
bungan jantan
Tanaman kelapa sawit yang berumur
tiga tahun sudah mulai dewasa dan mulai mengeluarkan bunga jantan atau bunga
betina. Bunga jantan berbentuk lonjong memanjang, sedangkan bunga betina agak
bulat. Tanaman kelapa sawit mengadakan penyrbukan silang (cross pollination).
Artinya, bunga betina dari pohon yang satu dibuahi oleh bunga jantan dari pohon
yang lainnya dengan perantaraan angin dan atau serangga penyerbuk (Catantora,
2012).
Buah kelapa
sawit tersusun dari kulit buah yang licin dan keras (epicrap), daging buah
(mesocrap) dari susunan serabut (fibre) dan mengandung minyak, kulit biji
(endocrap) atau cangkang atau tempurung yang berwarna hitam dan keras, daging
biji (endosperm) yang berwarna putih dan mengandung minyak, serta lembaga
(embryo).
Lembaga
(embryo) yang keluar dari kulit biji akan berkembang ke dua arah.
1. Arah tegak lurus ke atas (fototropy),
disebut dengan plumula yang selanjutnya akan menjadi batang dan daun
2. Arah tegak lurus ke bawah
(geotrophy) disebut dengan radicula yang selanjutnya akan menjadi akar (Elok,
2010).
Plumula
tidak keluar sebelum radikulanya tumbuh sekitar 1 cm. Akar-akar adventif pertama muncul di sebuah ring di atas
sambungan radikula-hipokotil dan seterusnya membentuk akar-akar sekunder
sebelum daun pertama muncul. Bibit kelapa sawit memerlukan waktu 3 bulan untuk
memantapkan dirinya sebagai organisme yang mampu melakukan fotosintesis dan
menyerap makanan dari dalam tanah.
Buah yang
sangat muda berwarna hijau pucat. Semakin tua warnanya berubah menjadi hijau
kehitaman, kemudian menjadi kuning muda, dan setelah matang menjadi merah
kuning (oranye). Jika sudah berwarna oranye, buah mulai rontok dan berjatuhan
(buah leles) (Catantora, 2012).
e. Biji
Setiap
jenis kelapa sawit memiliki ukuran dan bobot biji yang berbeda. Biji dura
afrika panjangnya 2-3 cm dan bobot rata-rata mencapai 4 gram, sehingga dalam 1
kg terdapat 250 biji. Biji dura deli memiliki bobot 13 gram per biji, dan biji
tenera afrika rata-rata memiliki bobot 2 gram per biji (Elok, 2010).
Biji kelapa
sawit umumnya memiliki periode dorman
(masa non-aktif). Perkecambahannya dapat berlangsung lebih dari 6 bulan dengan
keberhasilan sekitar 50%. Agar perkecambahan dapat berlangsung lebih cepat dan
tingkat keberhasilannya lebih tinggi, biji kelapa sawit memerlukan
pre-treatment (Elok, 2010).
2.3
Pertumbuhan
dan perkembangan: fase-fase pertumbuhan (pra vegetatif, vegetatif, generatif)
(umur/kecepatan tumbuh)
Pertumbuhan dan perkembangan
tanaman kelapa sawit secara generatif memerlukan beberapa tahap atau fase-fase
dalam pertumbuhannya, yaitu :
a. Fase
pertumbuhan pravegetatif
- Perkecambahan
Dalam fase ini benih kelapa sawit diperlakukan sedemikian
rupa sehingga pada waktu tertentu benih tersebut dapat berkecambah. Setelah
mengalami beberapa kali perlakuan maka dalam waktu 15-20 hari benih akan
berkecambah.
- Penyemaian
Benih yang telah berkecambah dimasukkan dalam polybag kecil
ukuran 12 cm x 23 cm atau 15 cm x 23 cm, kemudian dipelihara dengan baik. Pada
fase persemaian membutuhkan waktu 70-80 hari, setelah itu siap untuk
dibibitkan.
b. Fase
pertumbuhan vegetatif
Dalam fase ini hasil persemaian
yang telah mengalami beberapa perlakuan selanjutnya dibibitkan. Pembibitan/masa
vegetatif tanaman kelapa sawit membutuhkan waktu sampai 32 bulan.
c. Fase
generatif
Setelah mengalami proses
pertumbuhan dari benih menjadi kecambah, setelah itu dari kecambah menjadi
bibit, kemudian tumbuh menjadi tanaman kelapa sawit muda. Setelah fase
vegetatif yaitu sekitar 32 bulan maka terjadi alih fungsi jaringan ada tanaman
kelapa sawit, yaitu tanaman kelapa sawit memasuki fase generatif. Pada fase
generatif ini tanaman kelapa sawit dapat bertahan hingga 25 tahun atau bahkan
lebih, tergantung dari genetik tanaman dan lingkungan yang mempengaruhinya.
2.4
Komposisi
jaringan (tanaman, hasil produksi)
1. Jaringan
pada akar
Akar merupakan bagian tumbuhan
yang berfungsi menyerap air dan mineral dari dalam tanah. Tidak semua akar
dapat mengisap zat-zat makanan, tetapi hanya bagian tertentu saja yaitu bagian
yang belum diliputi gabus dan bagian yang belum tua. Lapisan-lapisan jaringan
penyusun akar,adalah: (a) Epidermis (lapisan terluar); (b) Korteks (lapisan di
bawah epidermis); (c) Endodermis (memisahkan korteks dengan silinder pusat);
(d) Silinder pusat (lapisan dalam akar).
2. Jaringan
pada batang
Batang berfungsi sebagai
penghubung antara akar dan daun tumbuhan serta dapat juga sebagai tempat
penyimpanan hasil fotosintesis dan air. Jaringan pada batang meliputi: (a)
Epidermis (kulit luar); (b) Korteks (kulit pertama); (c) Endodermis (sarung
tepung); (d) Silinder pusat (stele).
3. Jaringan
pada daun
Daun adalah organ tumbuhan yang
umumnya berbentuk pipih,melebar,dan berwarna hijau. Daun berfungsi untuk tempat
fotosintesis dan transpirasi (penguapan). Sistem jaringan pada daun terdiri
atas: (a) Epidermis atas, berfungsi melindungi jaringan di bagian dalamnya. (b)
Mesofil, sebagai jaringan dasar terletak antara epidermis atas dan bawah. (c)
Berkas pengangkut, yang terdiri dari penbuluh kayu dan pembuluh tapis. (d)
Epidermis bawah, terdapat stomata sebagai tempat keluar masuknya udara dan air.
4. Jaringan
pada bunga
Bunga merupakan alat perkembangbiakan
pada tumbuhan biji. Bagian-bagian bunga meliputi: (a) Kelopak bunga (kaliks),
berfungsi sebagai lapisan pelindung kuncup bunga; (b) Mahkota bunga (korola),
berwarna dan berbau harum sebagai penarik hewan untuk membantu
penyerbukan(pollinator); (c) Benang sari (stamen), terdiri dari kepala sari
(antera) dan tangkai sari (filamentum), berfungsi sebagai alat kelamin jantan;
(d) Putik (pistil), sebagai alat kelamin betina.
2.5 Produksi dan pemanfaatan residu (bagian
tanaman yang dipanen, pemanenan (waktu, cara, produksi), produktivitas tanaman,
produktivitas residu)
Proses pemanenan pada tanaman
kelapa sawit meliputi pekerjaan memotong
tandan buah masak, memungut brondolan dan mengangkutnya dari pohon ke tempat
pengumpulan hasil (TPH) serta ke pabrik. Tanaman kelapa sawit mulai berbuah setelah berumur 2,5 tahun
dan proses pemasakan buah berkisar 5 - 6 bulan setelah terjadinya penyerbukan.
Buah kelapa sawit dapat dipanen jika tanaman telah berumur 31 bulan, sedikitnya
60% buah telah matang panen, dari 5 pohon kelapa sawit rata-rata terdapat 1
tandan buah matang panen. Ciri tandan buah matang panen adalah sedikitnya ada 5
buah yang lepas/jatuh dari tandan yang beratnya kurang dari 10 kg atau
sedikitnya ada 10 buah yang lepas dari tandan yang beratnya 10 kg atau lebih.
Berdasarkan tinggi tanaman, ada tiga cara panen yang umum dilakukan oleh perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Untuk tanaman yang tingginya 2-5 m digunakan cara panen jongkok dengan alat dodos, sedangkan tanaman dengan ketinggian 5-10 m dipanen dengan cara berdiri dan menggunakan alat kampak siam. Cara egrek digunakan untuk tanaman yang tingginya lebih dari 10 m dengan menggunakan alat arit bergagang panjang. Untuk memudahkan pemanenan, sebaiknya pelepah daun yang menyangga buah dipotong terlebih dahulu dan diatur rapi di tengah gawangan.
Gambar 25. Cara panen
pada tanaman kelapa sawit dengan metode dodos
Sumber : Sarwani
(2008).
Kelapa sawit adalah penghasil minyak nabati yang dapat
diandalkan, karena minyak yang dihasilkan memiliki berbagai keunggulan
dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan oleh tanaman lain. Keunggulan
tersebut di antaranya memiliki kadar kolesterol rendah, bahkan tanpa
kolesterol. Minyak nabati yang dihasilkan dari pengolahan buah kelapa sawit
berupa minyak sawit mentah (CPO atau crude palm oil) yang berwarna
kuning dan minyak inti sawit (PKO atau palm kerner oil) yang tidak
berwarna. CPO atau PKO banyak digunakan sebagai bahan industri pangan, industi
sabun, industri baja, industri tekstil, kosmetik, dan sebagai bahan bakar
alternatif (Manurung, 2001).
Bagian yang paling utama untuk
diolah dari kelapa sawit adalah buahnya. Bagian daging buah menghasilkan minyak
kelapa sawit mentah yang diolah menjadi bahan baku minyak goreng. Kelebihan
minyak nabati dari sawit adalah harga yang murah, rendah kolesterol, dan
memiliki kandungan karoten tinggi. Minyak sawit juga dapat diolah menjadi bahan
baku minyak alkohol, sabun, lilin, dan industri kosmetika. Sisa pengolahan buah
sawit sangat potensial menjadi bahan campuran makanan ternak dan
difermentasikan menjadi kompos. Tandan kosong dapat dimanfaatkan untuk mulsa
tanaman kelapa sawit, sebagai bahan baku pembuatan pulp dan pelarut organik,
dan tempurung kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan pembuatan
arang aktif (Nisbantoro, 2011).
Tandan buah yang siap panen Tandan
buah segar kelapa sawit yang telah dipanen (Sarwani, 2008).
Perkiraan produksi TBS, minyak
sawit dan inti sawit pada berbagai umur tanaman kelapa sawit
Sumber : Sarwani (2008).
Berikut ini adalah
produktivitas kelapa sawit dengan asumsi-asumsi yang digunakan antara lain :
·
Luas lahan budidaya
adalah 1 ha, dengan tingkat kesesuaian lahan untuk perkebunan sawit kelas 3
(S3).
·
Populasi kebun 143
pohon/ha
·
Jumlah bibit
cadangan 10% dari total kebutuhan bibit
·
Produktivitas lahan
sesuai dengan tingkat kesesuaian lahan (S3)
Umur
|
Produktivitas
(ton/ha/thn)
|
Umur
|
Produktivitas
(ton/ha/thn)
|
3
|
6
|
15
|
24
|
4
|
10
|
16
|
23
|
5
|
14
|
17
|
22
|
6
|
18
|
18
|
22
|
7
|
23
|
19
|
21
|
8
|
25
|
20
|
20
|
9
|
25
|
21
|
19
|
10
|
25
|
22
|
18
|
11
|
25
|
23
|
17
|
12
|
25
|
24
|
16
|
13
|
25
|
25
|
15
|
14
|
24
|
|
|
III.
EKOLOGI
3.1 Iklim
Daerah pengembangan tanaman
kelapa sawit yang sesuai berada pada 15 °LU-15 °LS. Lama penyinaran matahari
rata-rata 5-7 jam/hari. Curah hujan tahunan 1.500-4.000 mm. Curah hujan ideal untuk tanaman
kelapa sawit berkisar 2000–2500 mm per tahun dan tersebar merata sepanjang
tahun. Temperatur optimal 24-280C. Kelembaban optimum yang
ideal sekitar 80-90%. Ketinggian tempat yang ideal antara 1-500 m dpl (Budie,
2010). Tanaman kelapa sawit
bisa tumbuh dan berbuah hingga ketinggian tempat 1000 meter di atas permukaan
laut (dpl). Akan tetapi, pertumbuhan tanaman dan produktivitas yang optimal
akan tercapai jika ditanam di lokasi dengan ketinggian maksimum 400 meter dpl. Kecepatan
angin 5-6 km/jam untuk membantu proses penyerbukan.
3.2 Kondisi lahan
Kelas kesesuaian lahan dibagi
menjadi 2 (dua), yaitu Sesuai (S) dan Tidak Sesuai (N). Kelas sesuai dibagi
menjadi 3 (tiga) sub-kelas, yaitu sangat sesuai (S1), sesuai (S2), agak sesuai
(S3). Kelas tidak sesuai dibagi menjadi 2 (dua) sub-kelas, yaitu tidak
sesuaibersyarat (N1) dan tidak sesuai permanen (N2). Setiap sub-kelas terdiri
dari satu atau lebih unit kesesuaian yang lebih menjelaskan tentang jumlah dan
intensitas faktor pembatas.
3.3 Kondisi tanah
Tanah yang baik untuk budidaya
kelapa sawit adalah mengandung banyak lempung, beraerasi baik dan subur.
Berdrainase baik, permukaan air tanah cukup dalam, solum cukup dalam (80 cm),
pH tanah 4-6, tetapi pH
optimumnya berada antara 5.0 – 5.6, dan tanah tidak berbatu. Tanah
Latosol, Ultisol dan Aluvial, tanah gambut saprik, dataran pantai dan muara
sungai dapat dijadikan perkebunan kelapa sawit.
3.4 Kebutuhan air (pada masing-masing fase
pertumbuhan)
a. fase
pertumbuhan pravegetatif
- Perkecambahan
Dalam fase perkecambahan benih
dimasukkan kedalam kantong plastik, dan penyiraman benih dilakukan dengan
sprayer untuk menjaga kelembaban benih didalam kantong
- Persemaian
Pada fase ini keadaan tanah di
polybag harus selalu dijaga agar tetap lembab tapi tidak becek. Pemberian air
pada lapisan atas tanah polybag dapat menjaga kelembaban yang dibutuhkan oleh
bibit. Penyiraman dapat dilakukan dengan sisitem springkel irrigation.
b. Fase
pertumbuhan vegetatif
Penyiraman bibit dilakukan dua
kali sehari, kecuali apabila jatuh hujan lebih dari 7-8 mm pada hari yang
bersangkutan. Air untuk menyiram bibit harus bersih dan cara menyiramnya harus
dengan semprotan halus agar bibit dalam polybag tidak rusak dan tanah tempat
tumbuhnya tidak padat. Kebutuhan air siraman ± 2 lt/polybag/hari, disesuaikan
dengan umur bibit.
c. Fase
generatif
Pada fase generatif kebutuhan air
ditentukan dengan kondisi tanah. Apabila tanaman kelapa sawit ditanam pada
tanah berpasir maka kebutuhan akan air akan semakin banyak, dibandingkan dengan
tanah yang didominasi liat.
IV.
PENGELOLAAN
TANAH DAN AIR PADA BUDIDAYA TANAMAN KELAPA SAWIT
4.1 Penyiapan lahan (waktu, teknik,
pertimbangan)
Persiapan lahan merupakan
kegiatan yang sangat penting dan harus dilaksanakan berdasarkan jadwal kegiatan
yang sudah ditetapkan. Mengingat areal kebun kelapa sawit yang cukup luas,
pembukaan lahan dapat dilakukan sekaligus atau secara bertahap. Namun, yang
terpenting adalah keadaan kebun sudah siap dipanen dan dapat memasok buah yang
akan diolah ketika pabrik sudah siap berproduksi.
Tanaman kelapa sawit sering
ditanam pada areal / lahan : bekas hutan (bukaan baru, new planting), bekas
perkebunan karet atau lainnya ( konversi), bekas tanaman kelapa sawit (bukaan
ulangan, replanting). Cara membuka untuk tanaman kelapa sawit disesuaikan dengan
kondisi lahan yang tersedia.
1.
Bukaan baru (new
planting) pada hutan primer, hutan sekunder, semak belukar atau areal yang
ditumbuhi lalang.
2.
Konversi, yaitu penanaman pada areal yang
sebelumnya ditanami dengan tanaman perkebunan seperti karet, kelapa atau
komoditas tanaman perkebunan lainnya.
3.
Bukaan ulangan (replanting), yaitu areal yang sebelumnya juga ditanami kelapa sawit
(Catantora, 2012).
Pembukaan lahan secara mekanis
pada tanah bukaan ulangan terdiri dari pekerjaan, yakni: a) pengolahan tanah secara
mekanis dengan menggunakan traktor. b) meracun batang pokok kelapa sawit dengan
cara membuat lubang sedalam 20 cm pada ketinggian 1 meter pada pokok tua.
Lubang diisi dengan Natrium arsenit 20 cc per pokok, kemudian ditutup dengan
bekas potongan lubang; c) membongkar, memotong dan membakar. Dua minggu setelah
peracunan, batang pokok kelapa sawit dibongkar sampai akarnya dan swetelah
kering lalu dibakar; d) pada bukaan ulangan pembersihan bekas-bekas batang
harus diperhatikan dengan serius karena sisa batang, akar dan pelepah daun
dapat menjadi tempat berkembangnya hama (misalnya kumbang Oryctes) atau
penyakit ( misalnya cendawan Ganoderma) (Masifah dan Zufika, 2009).
4.2 Pemupukan (waktu, jenis, dosis, cara)
Pupuk merupakan salah satu sumber
unsur hara utama yang sangat menentukan tingkat pertumbuhan dan produksi kelapa
sawit. Penyediaan hara dalam tanah melalui pemupukan harus seimbang, yaitu
disesuaikan dengan kebutuhan tanaman. Pemupukan pada tanaman kelapa sawit
bertujuan untuk menyediakan kebutuhan hara bagi tanaman sehingga tanaman dapat
tumbuh baik dan mampu berproduksi maksimal dan menghasilkan minyak berkualitas
baik (Adiwiganda dan Siahaan, 1994). Untuk meningkatkan produksi maksimal
kelapa sawit, maka dalam pelaksanaan pemupukan harus mengacu pada tujuh tepat,
yaitu tepat jenis, dosis, waktu, cara, penempatan, bentuk formulasi, dan
rotasi.
Standar Dosis Pemupukan Tanaman
Belum Menghasilkan (TBM)
Sumber : Indah dan Sinaga (2008).
Standar Dosis Pemupukan Tanaman Menghasilkan ( TM )
Sumber
: Indah dan Sinaga (2008).
Cara
pemberian pupuk diperhatikan secara seksama agar pemupukan dapat terlaksana
secara efisien. Untuk mencapai maksud tersebut, pemberian pupuk pada Tanaman
Menghasilkan (TM) harus dilaksanakan dengan cara sebagai berikut :
• Pupuk N ditaburkan secara merata pada
piringan mulai jarak 50 cm sampia
dipinggir luar piringan.
• Pupuk P, K, dan Mg ditabur secara merata dari
jari – jari 1,0 m hingga jarak 3,0 m dari pangkal pokok (0,75 – 1,0 m di luar
piringan)
• Pupuk B ditaburkan secara merata pada jarak
30 – 50 cm dari tanaman pokok
Pemberian
pupuk pada kelapa sawit diatur dua kali dalam setahun. Pemberian pupuk yang
pertama dilakukan pada akhir musim hujan yaitu bulan Maret – April dan
pemberian pupuk kedua dilakukan pada awal musim
hujan yaitu bulan September – Oktober.
Pemupukan kelapa sawit secara Pemupukan kelapa sawit secara pocket ditaburkan
(Budie, 2010) (dibenam) (Budie, 2010)
4.3. Penyiangan (waktu, teknik)
Upaya pengendalian gulma telah
dilaksanakan dengan menanami tanah di antara tanaman kelapa sawit (gawangan)
dengan tanaman kacang penutup tanah dan membuat piringan di sekeliling tiap
individu tanaman. Bila pertumbuhan gulma tidak dikendalikan dengan baik, maka berbagai
macam gulma dapat tumbuh dengan subur dan mengganggu (menyaingi) pertumbuhan
tanaman pokok, menyebabkan keadaan kebun menjadi kotor dan lembab. Pengendalian
gulma pada tanaman menghasilkan dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya saingan
terhadap tanaman pokok, memudahkan pelaksanaan pemeliharaan, dan mencegah
berkembangnya hama dan penyakit tertentu.
Secara garis besar jenis – jenis
gulma yang dijumpai pada perkebunan kelapa sawit dapat digolongkan menjadi :
1. Gulma berbahaya, yaitu gulma yang memiliki
daya saing tinggi terhadap tanaman pokok, misalanya lalang (Imperata cylindrica), sembung rambat
(Mikania cordata dan M. Micrantha), lempuyangan (Panicum repens), teki (Cyperus
rotundus), serta beberapa tumbuhan berkayu diantaranya.putihani/krinyuh (Eupathorium odoratum syn. Chromolaena
odorata), harendong (Melastoma
malabtrichum), dan tembelekan (Lantana
camara)
2. Gulma lunak, yaitu gulma yang
keberadaannya dalam budi daya tanaman kelapa sawit dapat di toleransi, sebab
jenis gulma ini dapat menahan erosi tanah, kendati demikian pertumbuhannya
harus dikendalikan. Yang termasuk gulma lunak misalnya babadotan/wedusan (Ageratum conyzoides), rumput kipahit (Paspalum conjugatum), pakis (Nephrolepis biserata), dan sebagainya
(Sarwani, 2008).
Pengendalian
gulma dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain sebagai berikut :
1.
Pengendalian
gulma secara manual, yaitu pengendalian gulma dengan menggunakan peralatan
dan upaya pengendalian secara konvensional, misalnya dibabad, dibongkar dengan
cangkul, digarpu dan sebagainya.
2.
Pengendalian
gulma secara kimia, yaitu pengendalian gulma dengan menggunakan herbisida,
baik yang bersifat kontak maupun sistemik.
3.
Pengendalian
Secara kultur teknis,yaitu pengendalian gulma dengan menggunakan tanaman
penutup tanah jenis kacangan.
Gambar 24. Tanaman
Kelapa Sawit setelah Pengendalian Gulma
Sumber :
Masifah dan Zufika (2009).
4.4 Pengairan (irigasi/drainasi) (waktu,
cara, jumlah air)
Pengelolaan air merupakan faktor
yang penting diperhatikan dalam budidaya kelapa sawit. Pengelolaan air yang
umum dilakukan berupa pembuatan saluran drainase supaya keadaan air di tanah
dapat terkendali. Saluran drainase yang ada di kebun dan selalu dilakukan
pekerjaan rutin dari afdeling berupa rawat parit sisip. Parit sisip berguna
untuk mengalirkan air keluar dari lahan secepatnya bila keadaan lahan basah
lebih dari dua hari setelah hujan. kegiatan penyiraman di pembibitan utama
dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu pada pagi dan sore hari. Jumlah air yang
diperlukan sekitar 9–18 liter per minggu untuk setiap bibit.
a. Sistem
Drainase
Pembuatan sistem drainase
bertujuan untuk mengendalikan tata air di wilayah Kebun Inti 1. Dasar pembuatan
sistem drainase di Kebun Inti 1 ditujukan untuk mengendalikan kelembaban tanah
sehingga kadar airnya stabil dengan kedalaman permukaan air (water table)
maksimum 60 cm. Pembangunan saluran drainase juga diusahakan terhindar dari
kejenuhan air selama 2 minggu. Sistem drainase dibuat berdasarkan kemampuan
saluran air untuk mengeluarkan kelebihan air dalam 24 jam. Volume air yang
dialirkan melalui sistem drainase biasanya berkisar 60-80 % dari curah hujan,
bergantung pada jenis tanah, topografi, dan lamanya periode kekeringan.
b. Bendungan
Penanganan kekurangan air
dilakukan dengan membuat bendungan untuk mempertahankan level air tetap pada
kondisi minimal atau 60 cm dari lahan. Semakin dekat bendungan dengan saluran
pembuangan atau semakin banyak blok yang termasuk dalam jalur pembuangan maka
bendungan yang dibuat semakin kokoh. Bendungan dibuat bervariasi sesuai dengan
manfaat yang akan diambil setelah pembuatan yaitu sementara atau pemanen.
Bendungan yang hanya menahan level air dan berada di lahan gambut dibuat dengan
menggunakan karungkarung yang diisi tanah supaya bila terjadi penurunan
permukaan parit bendungan tetap berfungsi baik (Alberto, dkk., 2009).
4.5 Pasca panen
Tandan buah sawit dari kebun akan langsung diolah. Proses yang dilakukan
meliputi proses sterilisasi, perontokan, pencacahan, dan pengepresan untuk
mendapatkan minyak sawit. Dari proses pengepresan akan dihasilkan fase cair
(minyak) dan fase padat berupa ampas. Fase cair merupakan fase minyak yang
masih banyak mengandung pengotor seperti serat-serat maupun pasir sehingga
perlu dilakukan penyaringan dan klarifikasi untuk memisahkan pengotor-pengotor
tersebut.
TBS Setelah
Ditimbang
|
Loading
Ramp
|
Sterilizer
|
Thresher
|
Digester
|
Empty Bunch Press
|
Bahan Bakar
Boiler/ Lapangan
|
Screw
Press
|
Press Cake
Ampas Kempa
|
Press Fluid
Cairan Kempa
|
Air Panas
Pengencer 95OC
|
TBS Dalam Lori
|
Brondolan Buah
|
Tandan Kosong
|
B
|
A
|
Gambar Diagram alir pengolahan kelapa sawit
A
|
Clarification
Tank
|
Sand
Cyclone
|
Sludge
Separator
|
Sludge
Pit
|
Effluent
Pond
|
PAL Kawasan
|
Oil
Purifier
|
Vaccum
Oil Dryer
|
CPO
Storage Tank
|
Sludge
|
Sludge
|
Air Limbah
|
Air Limbah
|
Sand Trap
|
Sludge Tank
|
Oil Tank
|
Minyak
|
CPO
|
Air Cucian
Berminyak
|
Pasir Berminyak
|
Oil Trap
|
Minyak
|
Air Limbah
|
Minyak Mutu Rendah
|
Vibrating
Screen
|
Crude
Oil Tank
|
Gambar Diagram alir pengolahan kelapa sawit
(lanjutan)
Pemulusan/Pemurnian
Minyak
Proses pemulusan/pemurnian merupakan langkah yang perlu dilakukan dalam
produksi edible oil dan produk
berbasis lemak. Tujuan dari proses ini adalah untuk mengilangkan pengotor dan
komponen lain yang akan mempengaruhi kualitas dari produk akhir/jadi. Kualitas
produk akhir yang perlu diawasi adalah bau, stabilitas daya simpan, dan warna
produk.
Dalam sudut pandang industri, tujuan utama dari pemulusan/pemurnian adalah
untuk merubah minyak kasar/mentah menjadi edible
oil yang berkualitas dengan cara menghilangkan pengotor yang tidak
diinginkan sampai level yang diinginkan dengan cara yang paling efisien. Bahan
yang tidak diinginkan atau pengotor dalam minyak mungkin biogenic misalnya disintesis oleh tanaman itu sendiri tapi bahan
tersebut bisa jadi pengotor yang diambil oleh tanaman dari lingkungannya.
Pengotor tersebut mungkin diperoleh selama proses hulu, yaitu ekstraksi,
penyimpanan atau transportasi dari minyak kasar/mentah dari lapang ke pabrik.
Proses pemurnian yang tepat sangat penting dilakukan dalam rangka untuk
memproduksi produk akhir yang berkualitas tinggi dalam rentang spesifikasi yang
telah ditentukan dan sesuai keinginan pelanggan. Ada 2 tipe dasar teknologi
pembersihan yang tersedia untuk minyak:
(i) Pembersihan
secara kimia (alkali)
(ii) Pembersihan
secara fisik
Perbedaan diantara kedua tipe tersebut didasarkan pada jenis bahan kimia
yang digunakan dan cara penghilangan FFA. Pembersihan secara fisik tampaknya
pada prakteknya menggantikan penggunakan teknik pembersihan menggunakan bahan
kimia (alkali) karena tingginya asam lemak bebas (FFA) pada minyak yang
dibersihkan dengan cara kimia. Proses deasidifikasi
(deodorisasi) pada proses pembersihan secara fisik mampu mengatasi masalah
tersebut. Terpisah dari hal tersebut,
menurut literatur, metode ini disarankan karena diketahui cocok untuk minyak
tumbuhan dengan kadar fosfat yang rendah seperti minyak sawit. Dengan demikian,
Pembersihan secara fisik terbukti memiliki efisiensi yang lebih tinggi,
kehilangan yang lebih sedikit (refining
factor (RF) < 1.3), biaya operasi yang lebih rendah, modal yang lebih
rendah dan lebih sedikit bahan untuk ditangani.
Refining Factor (RF) adalah parameter yang digunakan
untuk memperkirakan berbagai tahap pada proses pemurnian. Faktor ini tergantung pada hasil produk dan
kualitas dari input dan dihitung yaitu :
RF biasanya dikuantifikasi untuk berbagai tahap dalam proses pemurnian
secara sendiri-sendiri dan pengawasan RF dalam pemurnian biasanya berdasarkan
berat yang dihitung dari pengukuran volumetrik yang disesuaikan dengan
temperatur atau menggunakan accurate
cross-checked flow meters.
Gambar Proses pemurnian CPO
Scara umum, pemurnian secara kimia memerlukan tahap proses, peralatan dan
bahan kimia yang lebih banyak bila dibandingkan dengan pemurnian secara fisik.
Pemulusan/Pemurnian
(Refining) Kimia
Pemulusan/pemurnian
secara kimia atau pemulusan/pemurnian basa adalah metode konvensional yang
digunakan untuk memurnikan CPO. Ada tiga tahap pada proses refining secara
kimia, yaitu 1. Degumming dan
Netralisasi, 2. Penjernihan dan Filtrasi, 3. Penghilangan bau
1)
Degumming dan Netralisasi
Pada tahap ini,
bagian fosfatida dari minyak dihilangkan dengan menambahkan additive di bawah kondisi reaksi yang
spesifik. Additive yang paling umum
digunakan adalah asam fosfat dan asam sitrat. Setelah itu, dilakukan proses
netralisasi dengan menggunakan basa untuk menghilangkan asam lemak bebas. Larutan
kemudian dimasukkan kedalam labu pemisah sehingga akan terpisah antara bagian
minyak dengan sabun hasil reaksi antara basa dengan asam lemak bebas. Untuk
menghilangkan kelebihan basa, minyak tersebut dicuci dengan air panas. Reaksi kimia yang terjadi pada tahap ini
adalah sebagai berikut:
R-COOH
+ NaOH à RCOONa + H2O
2) Penjernihan
dan Filtrasi
Minyak yang telah dicuci kemudian dilakukan tahap kedua,
yaitu penjernihan. Pada tahap ini,
minyak dimasukkan ke dalam bejana silindris dengan pengaduk yang dinamakan “Bleacher”. Minyak tersebut kemudian
dipanaskan pada suhu 90ºC di bawah kondisi vakum. Minyak tersebut di evaporasi
hingga kering. Minyak yang kering kemudian ditambahkan karbon sehingga karbon
tersebut akan mengadsorpsi warna dari minyak. Campuran minyak dan agen pemutih
di lakukan tahap filtrasi untuk memisahkan adsorben dari minyak. Minyak yang diperoleh lebih jernih dari awal.
3) Penghilangan
Bau
Minyak setelah dilakukan tahap
penjernihan masih mengandung beberapa bahan yang menyebabkan bau, sehingga
perlu dilakukan tahap deodorisasi. Minyak yang jernih dimasukkan ke dalam bejana
silindris yang dinamakan “Deodoriser”.
Deodoriser dijaga pada kondisi vakum
yang tinggi kemudian dipanaskan pada suhu 200ºC dengan tekanan yang tinggi.
Senyawa yang volatil akan menguap dengan beberapa pembawa. Minyak ini kemudian
didinginkan dan dijernihkan melewati mesin penyaring untuk mendapatkan minyak
yang bening.
Pemulusan/Pemurnian (Refining) Fisika
Pemulusan secara fisika adalah
metode alternatif dimana cara penghilangan asam lemak bebas dilakukan dengan
destilasi pada temperatur yang tinggi dan vakum yang rendah. Cara ini menggantikan
penambahan basa pada metode pemulusan/pemurnian kimia. Penjernihan secara fisika juga dapat dikatakan
sebagai deasidifikasi dengan destilasi uap dimana asam lemak bebas dan senyawa
volatile lainnya di pisahkan dari minyak menggunakan agen stripping yang efektif. Pada tahap pemulusan/pemurnian fisika, FFA
di hilangkan pada tahap akhir. Proses pemulusan/pemurnian secara fisika
disajikan pada Gambar 31. Kelebihan pemulusan/pemurnian fisika dibanding kimia
adalah:
ü
Mendapatkan
hasil yang baik
ü
Asam
lemak yang dihasilkan sebagai produk samping memiliki kualitas tinggi
ü
Stabilitas
minyak baik
ü
Peralatan yang digunakan
murah
ü
Operasinya
sederhana
Gambar Proses
pemurnian CPO secara fisika
Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO)
Refined,
Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO)
adalah minyak sawit yang telah mengalami proses penyulingan untuk menghilangkan
asam lemak bebas serta penjernihan untuk menghilangkan warna dan penghilangan
bau. Minyak ini dikenal khalayak ramai
sebagai minyak goreng. Sifat fisiko kimia dari RBDPO dapat dilihat pada.
Palm Fatty Acid Distillate (PFAD)
Palm Fatty Acid Distillate (PFAD)
merupakan hasil samping pemurnian CPO secara fisika, yaitu setelah tahap deguming, deasidifikasi, dan pengeringan sistem vakum. Komponen
terbesar dalam PFAD aadalah asam lemak bebas, komponen karotenoid, dan senyawa
volatil lainnya. Secara umum proses pengolahan (pemurnian) minyak sawit dapat
menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% Palm Fatty Acid Distillate (PFAD), dan 0,5% bahan lainnya.
Pada umumnya PFAD digunakan
industri sebagai bahan baku sabun ataupun pakan ternak. PFAD memiliki kandungan Free
Fatty Acid (FFA) sekitar 81,7%, gliserol 14,4%, squalane 0,8%, Vitamin E
0,5%, sterol 0,4% dan lain-lain 2,2%.
RBD Olein
RBD Olein merupakan minyak yang
diperoleh dari fraksinasi CPO dalam fase cair.
Komponen asam lemak terbesar dari RBD Olein adalah asam oleat.
RBD Stearin
RBD Stearin merupakan minyak yang
diperoleh dari fraksinasi CPO dalam fase padat.
Komponen asam lemak terbesar dari RBD stearin adalah asam palmitat.
V.
PEMELIHARAAN
DAN PERLINDUNGAN TANAMAN, DAN PEMANENAN
1.
Pemeliharaan Pembibitan
Penyiraman dilakukan dua kali sehari. Penyiangan 2-3 kali
sebulan atau disesuaikan dengan pertumbuhan gulma. Bibit tidak normal,
berpenyakit dan mempunyai kelainan genetis harus dibuang. Seleksi dilakukan
pada umur 4 dan 9 bulan. Pemupukan disesuaikan dengan ketentuan pemupukan
seperti pada tabel pemupukan TBM di atas.
2.
Pemeliharaan Tanaman
a.
Circle / piringan
Adalah lingkaran disekitar pohon, lebarnya 1,5 – 2 m,
berfungsi untuk tempat menabur pupuk dan mempermudah pekerja memanen buah.
Dibersihkan dengan cara manual dan kimia dengan rotasi 4 kali setahun (Budie,
2010).
b.
Pasar pikul / path / jalan tikus
Pasar pikul ialah jalan antara baris tanaman yang
digunakan pekerja untuk membawa hasil panen dari dalam blok ke TPH. Lebar path
1- 1,5 M. perawatan dilakukan dengan cara manual 4 kali setahun dan kimia 4
kali setahun (Budie, 2010).
c.
TPH/ Tempat pengumpulan hasil
Adalah tempat untuk mengumpulkan buah sawit dari dalam
blok, letaknya dijalan koleksi, 3 pasar pikul 1 TPH. Dibersihkan 4 kali setahun
dengan cara manual maupun kimia (Budie, 2010).
d.
Lalang
Lalang sangat mempengaruhi pertumbuhan kelapa sawit,
selain itu, proses penyebaran lalang sangat cepat. Sebaiknya lalang dikendalikan
4 kali setahun dengan cara kimia (Budie, 2010).
e.
Gawangan (Dongkel anak kayu)
Membersihkan gulma dan kelompok anak kayu yang merugikan
tanaman maupun mengganggu proses kerja. Dilakukan 4 kali setahun dengan cara
manual (Budie, 2010).
f.
Penyulaman
-
Penyulaman dilakukan untuk mengganti tanaman
yang mati atau tumbuh kurang baik.
-
Saat menyulam yang baik adalah pada musim hujan.
-
Bibit yang digunakan harus seumur dengan tanaman
yang disulam yaitu bibit berumur 10 – 14 bulan.
-
Banyaknya sulaman biasanya sekitar 3 – 5 %
setiap hektarnya.
-
Cara melaksanakan penyulaman sama dengan cara
menanam bibit (Budie, 2010).
g.
Penanaman tanaman penutup tanah
-
Tanaman penutup tanah (tanaman kacangan, Legume
Cover Crop atau LCC) pada areal tanaman kelapa sawit sangat penting karena
dapat memperbaiki sifat-sifat fisika, kimia dan biologi tanah, mencegah erosi
dan mempertahankan kelembaban tanah, menekan pertumbuhan gulma.
-
Penanaman tanaman kacangan sebaiknya
dilaksanakan segera setelah persiapan lahan selesai.
-
Jenis-jenis tanaman kacangan yang umum di
perkebunan kelapa sawit adalh Centrosema pubescens, Colopogonium mucunoides dan
Pueraria javanica.
-
Biasanya penanaman tanaman kacangan ini
dilakukan tercampur (tidak hanya satu jenis) (Budie, 2010).
h.
Pruning dan pemangkasan daun
Yaitu mengurangi daun yang sudah tidak berguna atau
kering. Pruning dilakukan untuk memaksimalkan tanaman dalam mendapatkan sinar
matahari, selain itu untuk memudahkan proses panen. Selain itu pemangkasan daun
adalah bertujuan untuk memperoleh pokok yang bersih, jumlah daun yang optimal
dalam satu pohon dan memudahkan panenan. Memangkas daun dilaksanakan sesuai
dengan umur / tingkat pertumbuhan tanaman (Budie, 2010).
Macam-macam
pemangkasan :
-
Pemangkasan pasir, yaitu pemangkasan yang
dilakukan terhadap tanaman yang berumur 16 – 20 bulan dengan maksud untuk
membuang daun-daun kering dan buah-buah pertama yang busuk. Alat yang digunakan
adalah jenis linggis bermata lebar dan tajam yang disebut dodos.
-
Pemangkasan produksi, yaitu pemangkasan yang
dilakukan pada umur 20 – 28 bulan dengan memotong daun-daun tertentu sebagai
persiapan pelaksanaan panen. Daun yang dipangkas dalah songgo dua (yaitu daun
yang tumbuhnya saling menumpuk satu sama lain), juga buah-buah yang busuk. Alat
yang digunakan adalah dodos seperti pada pemangkasan pasir.
-
Pemangkasan pemeliharaan, adalah pemangkasan
yang dilakukan setelah tanaman berproduksi dengan maksud membuang daun-daun
songgo dua sehingga setiap saat pada pokok hanya terdapat daun sejumlah 28 – 54
helai. Sisa daun pada pemangkasan ini harus sependek mungkin (mepet), agar
tidak mengganggu dalam pelaksanaan panenan (Budie, 2010).
i.
Pemupukan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemupukan antara
lain :
-
Waktu Pemupukan
-
Dosis Pemupukan
-
Aplikasi Pemupukan
-
Pengangkutan dan Ecer Pupuk
-
Alat-alat Pemupukan
-
Penaburan Pupuk (Budie, 2010).
j.
Pengambilan Contoh Daun
Adalah kegiatan mengambil contoh daun kelapa sawit untuk
selanjutnya di analisa. Contoh daun yang diambil adalah daun ke 17, karena
posisi daun ke 17 adalah tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda, dan
diharapkan bahwa proses transpirasi terjadi aktif pada daun ke 17. Daun ke-1
adalah daun yang baru membuka +/- 75% terletak pada posisi paling atas (Budie,
2010).
k.
Pengendalian Hama dan Penyakit
Hama adalah pengganggu pada tanaman kelapa sawit yang
disebabkan oleh serangga dan hewan mamalia yang dapat menurunkan hasil dan
secara ekonomis merugikan manusia
a)
Hama Tungau
Penyebab: tungau merah (Oligonychus). Bagian diserang
adalah daun. Gejala: daun menjadi mengkilap dan berwarna bronz. Pengendalian:
Semprot Pestona atau Natural BVR.
b) Ulat
Setora
Penyebab: Setora nitens. Bagian yang diserang adalah
daun. Gejala: daun dimakan sehingga tersisa lidinya saja. Pengendalian:
Penyemprotan dengan Pestona.
c) Nematoda
Penyebab: Nematoda Rhadinaphelenchus cocophilus. Hama
ini menyerang akar tanaman kelapa sawit. Gejala: Daun-daun muda yang akan
membuka menjadi tergulung dan tumbuh tegak. Selanjutnya daun berubah warna
menjadi kuning dan mengering. Tandan bunga membusuk dan tidak membuka, sehingga
tidak menghasilkan buah. Pengendalian: Tanaman yang terserang diracun dengan
natrium arsenit. Untuk memberantas sumber infeksi, setelah tanaman mati atau
kering dibongkar lalu dibakar.
d) Kumbang
Penyebab: Oryctes rhinoceros. Serangan hama ini cukup
membahayakan jika terjadi pada tanaman muda, sebab jika sampai mengenai titik
tumbuhnya menyebabkan penyakit busuk dan mengakibatkan kematian. Pengendalian:
Menjaga kebersihan kebun, terutama di sekitar tanaman. Sampah-sampah dan pohon
yang mati dibakar, agar larva hama mati. Pengendalian secara biologi dengan
menggunakan jamur Metharrizium anisopliae dan virus Baculovirus oryctes.
e) Penggerek
Tandan Buah
Penyebab: Ngengat Tirathaba mundella. Hama ini
meletakkan telurnya pada tandan buah, dan setelah menetas larvanya (ulat) akan
melubangi buah kelapa sawit. Pengedalian: Semprot dengan insetisida yang
mengadung bahan aktif triklorfom 707 gr/lt atau endosulfan 350 gr/lt
f) Ulat
Api
Penyebab: Setora nitens, Darna trima dan Ploneta
diducta. Hama pemakan daun. Gejala: Helaian daun berlubang atau habis sama
sekali sehingga hanya tinggal tulang daunnya. Gejala ini dimulai dari daun
bagian bawah. Pengendalian: Semprot dengan insektisida berbahan aktif triazofos
242 gr/lt karbaril 85 %, dan klorpirifos 25 ULV.
Penyakit Tanaman Kelapa Sawit adalah faktor pengganggu
tanaman kelapa sawit yang disebabkan oleh jamur, bakteri atau virus yang secara
ekonomis dapat menurunkan hasil
a)
Root Blast
Penyebab: Rhizoctonia lamellifera dan Phythium Sp.
Bagian diserang akar. Gejala: bibit di persemaian mati mendadak, tanaman dewasa
layu dan mati, terjadi pembusukan akar. Pengendalian: pembuatan persemaian yang
baik, pemberian air irigasi di musim kemarau, penggunaan bibit berumur lebih
dari 11 bulan. Pencegahan dengan pengunaan Natural GLIO.
b) Garis
Kuning
Penyebab: Fusarium oxysporum. Bagian diserang daun.
Gejala: bulatan oval berwarna kuning pucat mengelilingi warna coklat pada daun,
daun mengering. Pengendalian: inokulasi penyakit pada bibit dan tanaman muda.
Pencegahan dengan pengunaan Natural GLIO semenjak awal.
c) Dry
Basal Rot
Penyebab: Ceratocyctis paradoxa. Bagian diserang
batang. Gejala: pelepah mudah patah, daun membusuk dan kering; daun muda mati
dan kering. Pengendalian: adalah dengan menanam bibit yang telah diinokulasi
penyakit.
d) Bud
Rot
Penyebab: bakteri Erwinia. Penyakit ini sering
berkaitan erat dengan serangan hama kumbang (Oryctes rhinoceros). Setelah hama
menyerang titik tumbuh, kemudian dilanjutkan dengan serangan penyakit ini yang
menrupakan serangan sekunder. Gejala: kuncup yang di tengah membusuk sehingga
mudah dicabut dan berbau busuk. Akibatnya tanaman akan mati dan jika tetap
hidup daun tumbuh tidak normal, kerdil dam kurus. Pengendalian: belum ada cara
efektif yang ditemukan dalam pemberantasan penyakit ini. Untuk pencegahannya
yaitu menjaga kebersihan (sanitasi) kebun terutama di sekitar tanaman (Sarwani,
2008).
VI.
REKOMENDASI
PENELITIAN
1. Pengaruh
Jumlah Pelepah/pohon tanaman kelapa sawit terhadap produksi Tandan Buah Segar
(TBS) pada berbagai umur kelapa sawit
Mahkota daun tanaman merupakan
dapur atau tempat berlangsungnya proses assimilasi atau dikenal dengan istilah
fotosintesa. Proses fotosintesa dihasilkan senyawa karbohidrat, kemudian
senyawaan tersebut didistribusikan ke seluruh organ tubuh tanaman. Sehingga
tanaman tumbuh dan berkembang hingga berproduksi. Karena itu, pengelolaan tajuk
(manajemen kanopi) merupakan aspek kunci maksimalisasi produksi kelapa sawit.
Perlakuan pengelolaan tajuk dilakukan antara lain melalui penunasan. Untuk
mempermudah perencanaan kegiatan penunasan maka perlu diketahui susunan
kedudukan daun/pelepah. Tajuk kelapa sawit yang terbentuk dalam setiap bulannya
berjumlah 1-3 buah, tergantung umur dan pertumbuhan tanaman. Setiap tajuk
kelapa sawit mendukung
pembentukan kedudukan daun/pelepah yang susunannya membentuk
spiral. Daun memiliki rumus 3/8, artinya setiap mengelilingi 3 (tiga) kali
spiral terdapat sebanyak 8 daun (tidak termasuk daun pertama). Perputaran
spiral ada yang ke arah kiri dan ada yang ke arah kanan, penyebabnya adalah
faktor genetik.
Penunasan merupakan upaya
pengaturan jumlah pelepah daun yang perlu dipertahankan atau yang tetap
menempel di pohon. Lukman, dkk (2003) menjelaskan bahwa jumlah pelepah daun per
pohon telah nyata berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan akar, bobot
tandan, dan produksi tandan buah segar (TBS), tetapi tidak berpengaruh nyata
terhadap jumlah tandan.
Dari uraian di atas maka dapat
dilihat bahwa ada pengaruh yang nyata antara jumlah pelepah daun kelapa sawit
dengan produksi tandan buah segar, namun standar jumlah pelepah daun per pohon
yang optimal pada berbagai umur tanaman kelapa sawit masih belum banyak
diketahui. Selain itu pengaruh berbagai jenis tanah terhadap tinggi tanaman dan
jumlah daun kelapa sawit, sehingga dapat diketahui efektivitas fotosintesisnya
dalam hubungannya terhadap produksi tandan buah segar juga masih belum banyak
dikaji. Oleh karena itu rekomendasi penelitian diatas sangat memungkinkan untuk
dilakukan guna mengetahui pengaruh jumlah pelepah daun per pohon yang optimal
dalam hubungannya terhadap produksi tandan buah segar.
2. Pengaruh
Pola Tanam Tumpangasari Antara Kelapa Sawit dengan Berbagai Tanaman Pangan
Terhadap Sifat Fisik Tanah Ultisol, Serta Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan
Tanaman Kelapa Sawit
Beberapa kajian sebelumnya telah
mengemukakan beberapa strategi guna mengintegrasikan tanaman kelapa sawit
dengan tanaman pangan, diantaranya yang dilaporkan oleh LUBIS et al. (1984).
Dalam analisisnya dikemukakan pentingnya evaluasi ketersediaan tenaga kerja
untuk mengembangkan sistem kelapa sawit-tanaman pangan. Luasan areal kelapa
sawit 2,25 ha memerlukan curahan tenaga kerja sebesar 386-473 HOK tiap tahun,
padahal potensi minimal tenaga kerja keluarga adalah sebesar 720 HOK, sehingga
terdapat kelebihan tenaga kerja keluarga. Lahan diantara kelapa sawit muda
dapat diusahakan untuk tanaman sela (tanaman pangan) selama 2 tahun, karena
pada tahun ke-3 kelapa sawit telah berbuah. Setelah tahun ke-3 tidak diusahakan
tanaman sela, sehingga kelebihan tenaga kerja keluarga dapat dimanfaatkan untuk
budidaya tanaman pangan.
Pola tanam pada lahan kering
tadah hujan telah banyak diteliti, diberbagai wilayah dikaitkan dengan sebaran
hujan, beragam dari wilayah-wilayah dengan musim tanam yang relatif panjang
(wilayah barat Indonesia) sedangkan wilayah dengan musim tanam pendek (wilayah
timur Indonesia). Pola tanam tumpangsari bersisipan dan rotasi tanam, yang
meliputi tanaman serealia (jagung, padi gogo), kacang-kacangan (kacang tanah,
kedelai, kacang hijau dan kacang uci) dan ubi-ubian (ubikayu, ubijalar) dengan
perbaikan teknologi, produktivitas tanaman dapat ditingkatkan.
Pola tanam tipikal untuk wilayah
dengan musim tanam panjang (beriklim basah) dapat diintegrasikan dengan tanaman
perkebunan kelapa sawit. Integrasi berupa tanaman sela, tergantung jarak tanam
kelapa sawit karena menentukan penutupan kanopinya dan tanaman sela tidak
mungkin lagi diusahakan. Pada keadaan demikian, pengusahaan tanaman semusim
harus pindah ke petakan yang masih terbuka.
Dari uraian di atas dapat diketahui
bahwa pengelolaan tanaman dengan pola tumpang sari yaitu antara kelapa sawit
dengan beberapa jenis tanaman pangan sangat mungkin untuk dilakukan mengingat
beberapa penelitian/percobaan telah dilakukan dan hasilnya telah terbukti bahwa
tumpang sari kelapa sawit dengan tanaman pangan dapat dilakuakan dalam suatu
lahan budidaya kelapa sawit. Namun penelitian tentang tanaman pangan apa yang
lebih cocok untuk tumpang sari dengan kelapa sawit yang ditanam pada spesifik
lahan, misalnya pada tanah ultisol, masih belum banyak diteliti. Sehingga upaya
untuk memaksimalkan penggunaan lahan pada pertanaman kelapa sawit di tanah
ultisol dengan tumpang sari tanaman pangan bisa dikelola dengan baik tanpa
mengganggu pertumbuhan dan produktivitas tanaman kelapa sawit.
DAFTAR
PUSTAKA
Elok, G. 2010. Kelapa Sawit. http://www.ideelok.com/budidaya-tanaman/kelapa-sawit.
Diakses pada tanggal 5 April 2012.
Maselanusboman. 2007. Budidaya Kelapa Sawit. http://teknis-budidaya.blogspot.com/2007/10/budidaya-kelapa-sawit.html. Diakses pada tanggal 5 April 2012.
Nisbantoro, F.U. 2011. Manfaat Kelapa Sawit. http://www.pantonanews.com/756-manfaat-kelapa-sawit. Diakses pada tanggal 5 April 2012.
Catantora. 2012. Budidaya
Tanaman Kelapa Sawit. http://catatantora.blogspot.com/2012/01/budidaya-tanaman-kelapa-sawit.html. Diakses pada tanggal 5 April 2012.
Budie. 2010. Budidaya Tanaamn Kelapa Sawit. http://wedankkopie.blogspot.com/2010/07/budidaya-tanaman-kelapa-sawit.html. Diakses pada tanggal 5 April 2012.
Suluhkarso. 2010. Budidaya Tanaamn Kelapa Sawit. http://suluhkarsakao.wordpress.com/2010/01/31/budidaya-tanaman-kelapa-sawit/. Diakses pada tanggal 5 April 2012.
Manurung, E.G.T. 2001. Analisis
Valuasi Ekonomi Investasi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia.
Environmental Policy and Institutional Strengthening IQC. Jakarta.
Sarwani, M. 2008. Teknologi
Budidaya Kelapa Sawit. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Masifah, U., dan Zufika, L. 2009. Manajemen
Pemeliharaan Tanaman Kelapa Sawit. Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan
Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Pertanian. Jakarta.
Indah, M., dan Sinaga, S. 2008. Rancangan
Penyuluhan Peningkatan Efektivitas dan Efisiensi Pemupukan Kelapa Sawit (Elaeis
guinensis Jacq l.) Di Kecamatan Sei Rampah
Alberto, J., Sulistiyono, E., dan Wachjar, A. 2009. Pengelolaan Air Untuk Budidaya Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis
Jacq) Di Pt Sari Aditya Loka 1, Jambi. Makalah Seminar Departemen Agronomi
dan Hortikultura. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.